Penulis: Ridwan La Ode Bona (Direktur Eksekutif The Sunan Institute)
BahasaPublik, OPINI – Beberapa waktu yang lalu, Pemerintah Republik Indonesia, KPU RI, Bawaslu RI dan DPR RI telah menyepakati pemilu Tahun 2024 akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024. Sementara Pilkada serentak akan dilaksanakan pada 27 November 2024. Artinya ditahun yang sama, pelaksanaan pemilu 2024 akan dilaksanakan pemilu serentak yang meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD RI.
Kemudian, dilanjutkan dengan Pilkada serentak yakni Pilgub, Pilbup atau Pilwali pada bulan November 2024.
Terlepas dari wacana penundaan pemilu Tahun 2024 yang sempat dilontarkan beberapa tokoh partai dan anggota kabinet, sudah semestinya kita tetap berpegang teguh pada konstitusi dan ketentuan undang-undang Pemilu No.7 tahun 2017 dan Undang-Undang Pilkada No 10 tahun 2016.
Dalam Undang-undang pemilu tersebut dijelaskan bahwa periodesasi presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Propinsi dan DPRD Kab/Kota adalah 5 tahun.
Mengingat agenda pemilu serentak mendatang akan menghadapi kompleksitas pelaksanaan pemilu, maka mengharuskan setiap institusi berwenang untuk mulai mempersiapkan segala sesuatunya dalam menyongsong pemilu 2024. Toh, Presiden Joko Widodo juga sudah menginstruksikan untuk memulai proses pembahasan tahapan pemilu tahun 2024.
Meski demikian, adanya upaya atau wacana untuk melakukan penudaan pemilu yang masih terus samar-samar bergulir dilevel elit politik yang memungkinkan dibuka kembali melalui celah amandemen konstitusi adalah sah-sah saja, sepanjnag mekanismenya dilalui secara benar dan tanpa ada agenda lain yang turut serta dalam amandemen tersebut.
Berkaca pada Pengalaman Pemilu 2019
Pemilu 2019 harus menjadi pelajaran berharga bagi perjalanan kontestasi politik dimasa yang akan datang. Dari sisi penyelenggaraan pemilu 2019 menyisakan “Seabrek” masalah dan kontroversi di masyarakat hingga puncaknya adalah jatuhnya banyak korban jiwa ditingkat KPPS atau penyelenggara paling bawah.
Hal tersebut akibat dari prosesi pemilu yang sangat melelahkan dengan membarengkan Pilpres dan Pileg dihari yang sama. Sehingga pemilu Tahun 2019 menjadi “tragedy sejarah’’ yang memilukan bagi penyelenggaraan pemilu saat itu.
Selain itu, dari sisi politik pemilu 2019 telah membelah publik menjadi 2 kelompok besar yang sangat membahayakan bagi keutuhan bangsa dan Negara yaitu kelompok pendukung Jokowi-ma’ruf dan kelompok pendukung Prabowo-Sandi yang kemudian terpolarisasi sangat kuat di masyarakat.
Kerasnya kontestasi tersebut kemudian melahirkan protes-protes ketidakterimaan yang mengatasnamakan pendukung Prabowo-Sandi pada saat pengumuman KPU. Bahkan jika didalami lebih jauh, sisa-sisa polarisasi di masyarakat pasca pemilu 2019 hingga saat ini masih ada di masyarakat.
Peristiwa ini tentu harus menjadi pengingat sejarah kepemiluan ke depan bahwa sedapat mungkin baik partai politik, pemerintah, legislative dan pelaksana pemilu yakni KPU dan Bawaslu dapat mengantisipati agar “tragedy pemilu 2019” tidak terulang kembali pada pelaksanaan Pemilu 2024 kedepan. Dan ini menjadi sebuah Pekerjaan rumah bagi semua komponen bangsa tanpa terkecuali.
Penguatan Sistem Penyelenggaraan
Pemilu 2024 tentu saja tantangannya akan lebih besar lagi, khususnya bagi penyelenggara pemilu di semua level “Nasional hingga Desa”.
Kesadaran politik publik yang terus bertumbuh, pengalaman politik 2019 dan lesatan teknologi informasi saat ini yang hampir semua warga negara baik yang di kota maupun desa dapat mengaksesnya merupakan realitas sosial-politik yang harus ditangkap oleh penyelenggara pemilu.
Tumbuhnya kesadaran politik publik berpotensi akan meningkatkan kualitas demokrasi khususnya demokrasi kepemiluan.
Kesadaran politik yang dimaksud adalah seperti pengertian dari Miriam Budiardjo yakni, kesadaran politik merupakan perasaan bahwa dirinya diperintah dan percaya bahwa mereka dapat sedikit banyak mempengaruhi pemegang kekuasaan atau percaya bahwa mereka memiliki efek politik (political efficacy) (Budiardjo, 2010).
Sementara itu, pengalaman pemilu 2019 baik dari aspek peyelengaraan maupun dinamika politik yang terjadi harus dijadikan pelajaran. Oleh sebab itu, pilihan yang paling rasional yaitu dengan memperbaiki kembali sistem penyelenggaraan pemilu yang kuat dan terpercaya dihadapan publik.
Oleh sebab itu, beberapa hal yang perlu dikuatkan dalam menyongsong pemilu 2024 antara lain: Pertama, penguatan sumber daya manusia (SDM) penyelenggara khususnya pada level kepanitiaan (PPK, PPS dan KPPS). Kualitas penyelenggara pada level bawah sangat menentukan sebagai ujung tombak penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil, langsung, bebas dan rahasia.
Pola rekruitmen dan bimbingan teknis penyelenggaraan dapat dipertimbangkan untuk melibatkan perguruan tinggi agar diperoleh SDM penyelenggara dilevel desa dan kecamatan yang handal dan berintegritas.
Kedua, penguatan infrastrukur IT kepemiluan yang lebih efisien dan easy to use. Pada pemilu 2019, penggunaan IT melalui situng KPU sudah dilaksanakan. Secara umum penggunaan IT sangat membantu proses kecepatan dan efisiensi perhitungan hasil pemilu.
Namun, beberapa kesalahan masih terjadi salah satunya akibat human error saat input data dan keterlambatan data masuk. Sehingga pada pemilu 2024 mendatang, perlu perbaikan sistem IT yang lebih mudah digunakan bagi penyelenggara khususnya ditingkat desa.
Oleh sebab itu, dengan selarasnya kualitas penyelenggara pemilu ditingkat bawah dengan fasilitas infrastruktur IT diharapkan performa penyelenggaraan pemilu tahun 2024 berjalan dengan optimal.
Ketiga, peningkatan kerjasama penyelenggara dengan tokoh masyarakat secara lebih luas dan tepat sasaran.
Hal ini sangat penting mengingat dalam pemilu serentak yaitu Pilpres dan pileg akan berkonsekuensi pada dua hal, yaitu pemahaman teknis pencoblosan oleh masyarakat dan kondusifitas masyarakat.
Peningkatan peran petugas kepemiluan dari di level daerah dari KPUD, PPK, dan PPS dalam komunikasi dan kerjasama dengan masyarakat perlu dilakukan upaya yang lebih lokalistik dengan bergandengan tangan dengan Panwas, Pemerintah setempat dan Aparat Penegak Hukum guna mengidentifikasi, mengantifikasi masalah dan sasaran sosialisasi dapat tercapai.
Sebagai penutup, saya mengutip kalimat Surbakti dkk (2011), integritas pemungutan dan penghitungan suara pada khususnya dan integritas pemilu pada umumnya, sangat penting diwujudkan karena akan menjamin legitimasi dan penerimaan atas proses penyelengaaran dan hasil pemilu 2024 kedepan. (***)