Code Mixing dan Konstruksi Identitas Sosial Dalam Fenomena Bahasa Jaksel

oleh
oleh

Oleh: Laode Rajab Saputra (Pengamat dan Praktisi Kepemudaan, Komunikasi, dan Kepemimpinan)

Keragaman suku dan budaya yang ada di Indonesia menyebabkan sebagian besar masyarakat berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa “gado – gado”. Bahasa “gado – gado” sendiri merupakan ketercampuran Bahasa Indonesia dengan Bahasa lain. Ketercampuran Bahasa yang dimaksud berupa pencampuran Bahasa Indonesia dengan Bahasa daerah atau Bahasa asing.

Di Indonesia, masyarakat memberikan banyak sorotan terhadap pencampuran penggunaan Bahasa Indonesia. Terutama pencampuran Bahasa Indonesia dengan Bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris.

Fenomena penggunaan Bahasa”gado-gado” dapat ditemukan pada beberapa unsur masyarakat, mulai mayarakat umum, artis, politisi, hingga pejabat negara. Misalnya saja, kebiasaan artis milenial Cinta Laura yang kerap mencampurkan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris lengkap dengan logatnya yang khas, sehingga Cinta Laura kerap menuai candaan juga cibiran.

Akan tetapi, Cinta Laura bukan satu – satunya milenial penutur Bahasa “gado – gado” di Indonesia. Belakangan, dengan bergesernya demografis penduduk Indonesia kepada era dimana milenial mengisi sebagian besar persentase populasi penduduk, fenomena penggunaan Bahasa gado – gado juga semakin marak.

Meskipun bahasa gado-gado itu menghasilkan komunikasi yang tidak efektif, namun, banyak dari kita yang “hobi” meracik bahasa gado-gado. Pengguna bahasa gado-gado merasakan nikmat sebagai kaum intelek ketika ia menggunakan istilah asing dalam ucapan-ucapannya.

Penutur Bahasa “gado – gado” yang “which is” berasal dari daerah Jakarta Selatan tentunya menjadi pusat perhatian. Karena sebagian besar milenial Jakarta Selatan “literally” mencampurkan penggunaan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris dalam keseharian mereka.

Dalam ilmu linguistik, fenomena ini dapat dikaji melalui perspektif sosiolinguistik. Sebuah sub bidang keilmuan linguistik yang mempelajari hubungan antara Bahasa dan masyarakat. Code Mixing atau campur kode adalah konsep yang tepat untuk menjelaskan ketercampuran Bahasa seperti ini.  Code mixing atau campur kode didefinisikan sebagai sebuah kasus atau keadaan ketika item – item leksikal dan juga fitur gramatikal dari dua Bahasa digunakan dalam satu kalimat. Campur kode terdiri dari pencampuradukkan kata-kata dari satu bahasa ke bahasa lain pada tataran kalimat secara berulang-ulang.

Pencampuran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris oleh pemuda – pemudi Jakarta Selatan ini tidak hanya kebetulan belaka. Fenomena code mixing atau campur kode yang terjadi di Jakarta Selatan atau dikenal luas sebagai Bahasa Jaksel (Jakarta Selatan) mulai tenar pada tahun 2018. Secara umum, faktor yang menyebabkan lahir dan tumbuhnya kebiasaan code mixing atau campur kode dalam berbahasa ini diantaranya adalah kondisi geografis kota itu sendiri.

Jakarta Selatan merupakan sebuah kawasan yang mayoritas diisi oleh kelas menengah ke atas dengan ketimpangan ekonomi yang minim. Di Kawasan ini juga terdapat banyak sekolah internasional yang menawarkan pendidikan dengan metode pembelajaran menggunakan Bahasa Inggris. Maka tidak mengherankan ketika milenial Jakarta Selatan akrab dengan Bahasa asing yang merupakan lingua franca dunia ini. Di samping itu, Jakarta Selatan meskipun bukan merupakan pusat perekonomian, namun mampu menjadi pusat perkembangan bisnis leisure di Jakarta yang kerap didatangi oleh turis atau orang asing. Satu lagi iklim yang mendukung kian bertumbuhnya penuturan Bahasa dengan gaya code mixing.

Alasan – alasan lain yang menyebabkan terjadinya fenomena ini dipaparkan dalam beberapa artikel ilmiah. Pertama Pengaruh media massa baik cetak dan eletronik yang memiliki segmentasi anak muda di awal tahun 2000 hingga saat ini yang banyak menggunakan bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris dalam menyajikan artikel atau beritanya sehingga tidak hanya menarik minat pembaca namun menyesuaikan dengan topik artikel dan tidak adanya padanan kata tersebut dalam bahasa Indonesia. Kedua, Kehadiran internet memungkinkan penggunanya mengakses bahasa-bahasa lain dan mengimitasi bahasa yang dipakai oleh publik figur yang diikutinya. Kemudian, banyaknya mahasiswa yang kembali dari studi di luar negeri yang telah terbiasa menggunakan bahasa Inggris ketika berkualiah di sana, mengakibatkan percampuran bahasa ketika kembali ke Indonesia karena masih terbawa kebiasaan di luar negeri.

Akulturasi Budaya

Jika dilihat dengan menggunakan perspektif yang lebih luas, tentunya Bahasa Jaksel bukan sekedar fenomena code mixing atau campur kode yang kebetulan terjadi karena penutur yang memang akrab dengan kedua Bahasa yang dicampurkan tersebut.

Munculnya Bahasa Jaksel merupakan sebuah bukti terjadinya akulturasi atau interaksi dari dua budaya. Akulturasi sendiri adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur – unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Proses akulturasi yang ada mendorong terjadinya pembentukan suatu kebudayaan baru yang dalam hal ini adalah “Bahasa Jaksel” sebagai ciri khas para milenial dari Jakarta Selatan.

Kontruksi Kelas Sosial

Bahasa adalah sesuatu yang sangat unik dan kuat. Kekuatan Bahasa mampu menciptakan berbagai pengaruh, baik bagi individu maupun kelompok masyarakat. Berbagai fenomena penggunaan Bahasa dan penuturnya dapat memotivasi terjadinya sebuah fenomena sosial yang lebih besar. Selain akulturasi, barangkali Bahasa Jaksel juga lahir karena adanya power distance antara kedua Bahasa ini. Bahasa Inggris cenderung dianggap sebagai Bahasa yang superior karena dinobatkan sebagai alat komunikasi internasional yang dapat menjadi penghubung para penutur dengan beragam Bahasa dari berbagai belahan dunia. Oleh karena itu, maka kemampuan berbahasa Inggris setidaknya akan dianggap sebagai lambang kecerdasan serta kesiapan menghadapi dunia global.

Lewat kebiasaan berbahasa code mixing, milenial Jakarta Selatan sedang memanfaatkan kekuatan yang dimiliki oleh Bahasa. Gaya berbahasa para milenial Jakarta Selatan ini, pada dasarnya dapat diasumsikan sebagai upaya untuk mengkonstruksi kelas sosial yang ingin ditunjukkan melalui penggunaan Bahasa dan cara berkomunikasi. Asumsi ini diperkuat dengan pendapat yang mengatakan bahwa majalah yang dibaca, makanan yang dikonsumsi, serta kata – kata yang digunakan seringkali merefleksikan posisi kelas sosial seseorang.  Selain itu, code mixing juga dianggap sebagai alat untuk menujukkan identitas sosial karena mencampur bahasa sendiri merupakan lambang hierarki yang menunjukkan status sosial, pendidikan, dan kehormatan, kompas.

Sebuah studi mempertegas fakta bahwa para milenial Jakarta Selatan merasa Kebanggan dalam menggunakan bahasa campur kode. Secara tidak langsung, hal ini melekatkan mereka pada status sosial sebagai orang dengan bahasa lebih modern daripada kelompok lingkungan yang lain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *