JAKARTA – Majelis hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan Para Pemohon pada sidang perkara gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Dengan putusan tersebut maka sistem pemilu proporsional terbuka tetap berlaku.
Putusan tersebut dibacakan langsung oleh Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman Kamis, 15 Juni 2023. “Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Anwar Usman.
Putusan ini diambil oleh 9 hakim MK dengan satu hakim yang berpendapat berbeda atau dissenting opinion, yakni hakim konstitusi Arief Hidayat.
Sidang pleno pembacaan putusan ini dihadiri oleh 8 hakim konstitusi, yakni Anwar Usman, Arief Hidayat, Suhartoyo, Manahan Sitompul, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan Guntur Hamzah.
Baca juga: Festival Pantun 2023 UNJ Pecahkan Rekor Muri
Sementara hakim konstitusi Wahiduddin Adams tidak hadir karena sedang menjalankan tugas MK di luar negeri.
Sebelumnya, perkara dengan nomor 114/PUU-XX/2022 tentang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diajukan oleh enam pemohon.
Mereka adalah Demas Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono. Para pemohon meminta agar sistem Pemilu 2024 diubah dari sitem proporsional terbuka, menjadi proporsional tertutp.
Para Pemohon menguji Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu terkait ketentuan sistem proporsional terbuka pada pemilu.
Para Pemohon berpendapat UU Pemilu telah mengkerdilkan atau membonsai organisasi partai politik dan pengurus partai politik. Hal tersebut karena dalam penentuan caleg terpilih oleh KPU, tidak berdasarkan nomor urut sebagaimana yang dipersiapkan oleh partai politik, namun berdasarkan suara terbanyak secara perseorangan.
Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan dalil tersebut hendak menegaskan sejak penyelenggaraan Pemilihan Umum 2009 sampai dengan 2019 partai politik seperti kehilangan peran sentral-nya dalam kehidupan berdemokrasi,” ujar Saldi Isra.
Menurut Mahkamah, tuturnya melanjutkan, sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menempatkan partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR/DPRD, dalam batas penalaran yang wajar, dalil para Pemohon adalah sesuatu yang berlebihan.
“Karena, sampai sejauh ini, partai politik masih dan tetap memiliki peran sentral yang memiliki otoritas penuh dalam proses seleksi dan penentuan bakal calon,” kata Saldi Isra.
Soal kekhawatiran calon anggota DPR/DPRD yang tidak sesuai dengan ideologi partai, kata dia, partai politik memiliki peran penting dalam memilih calon yang dipandang dapat mewakili kepentingan, ideologi, rencana, dan program kerja partai politik yang bersangkutan.
Terkait potemsi terjadinya politik uang dalam sistem proporsional terbuka, menurut Saldi Isra, pilihan terhadap sistem pemilihan umum apa pun sama-sama berpotensi terjadinya praktik politik uang.
“Misalnya, dalam sistem proporsional dengan daftar tertutup, praktik politik uang sangat mungkin terjadi di antara elit partai politik dengan para calon anggota legislatif yang berupaya dengan segala cara untuk berebut nomor urut calon jadi agar peluang atas keterpilihan-nya semakin besar,” ujar Saldi Isra.
Untuk itu, katd Saldi Isra, praktik politik uang tidak dapat dijadikan dasar untuk mengarahkan tudingan disebabkan oleh sistem pemilihan umum tertentu.
Saldi Isra menegaskan bahwa dalil-dalil Para Pemohon, seperti distorsi peran partai politik, politik uang, tindak pidana korupsi, hingga keterwakilan perempuan tidak semata-mata disebabkan oleh pilihan sistem pemilihan umum.
“Karena, dalam setiap sistem pemilihan umum terdapat kekurangan yang dapat diperbaiki dan disempurnakan tanpa mengubah sistemnya,” kata Saldi Isra.
Menurut Mahkamah, tutur Saldi Isra, perbaikan dan penyempurnaan dalam pemilihan umum dapat dilakukan dalam berbagai aspek, mulai dari sistem kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hak dan kebebasan berekspresi, serta mengemukakan pendapat, kemajemukan ideologi, kaderisasi dalam tubuh partai politik, hingga kepentingan dan aspirasi masyarakat yang direpresentasikan oleh partai politik.
“Maka dalil-dalil para Pemohon yang pada intinya menyatakan sistem proporsional dengan daftar terbuka sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 168 ayat (2) UU 712017 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ujar Saldi Isra. (Rs)