Stereotype Masyarakat Prancis Dalam Serial Netflix “Emily in Paris”

oleh
oleh

Oleh: Laode Rajab Saputra (Pengamat dan Praktisi Kepemudaan, Komunikasi, dan Kepemimpinan)

Tahun 2020 Netflix merilis sebuah serial berjudul “Emily in Paris” dengan Lily Collins sebagai pemeran utama. Seperti yang digambarkan dalam judul, film ini berpusat pada kehidupan Emily Cooper.  Ia diutus oleh sebuah Kantor Pemasaran Digital Amerika Serikat, tempatnya bekerja untuk membantu perusahaan rekanan di Paris. Melalui perjalanan keseharian Emily, serial ini tak hanya menampilkan keindahan dan romantisme kota Paris, Prancis. Film ini juga menyajikan perbedaan budaya yang mencolok antara Amerika Serikat dengan Prancis, persahabatan, asmara serta karir.

Hal ini divisualkan melalui perbedaan sudut pandang dan ide – ide Emily -yang sangat Amerika- yang berbenturan dengan nilai – nilai serta selera rekan Prancis-nya. Unsur – unsur persahabatan, asmara dan karir juga digambarkan melalui perbedaan atau kontras budaya yang mewarnai disetiap episode dalam serial ini.  Pertikaian – pertikaian sederhana yang menjadi awal dari tiap konflik dalam serial Emliy in Paris selalu berlandaskan pada perbedaan budaya.

Sebagai sajian hiburan dengan mengangkat tema yang begitu dekat dengan keseharian manusia, serial yang terdiri dari 10 (sepuluh episode) ini berhasil mendapatkan perhatian penonton. Situs web Rotten Tomatoes an IMDB bahkan memberikan rating cukup tinggi untuk serial tersebut. Rotten Tomatoes memberikan 72 persen untuk Emily in Paris dan versi penonton sebesar 65 persen. Sementara itu, di IMDb Emily in Paris mendapatkan rating 7,5/10 dari 9.021 penilai.

Sukses di musim pertama ini membawa Emily in Paris menuju musim kedua. Masih dalam 10 (sepuluh) episode, Lily Collins kembali membawa penonton untuk turut menikmati naik – turun kehidupan Emily Cooper di Paris. Pada musim kedua ini penonton masih dimanjakan dengan berbagai tampilan apik tentang kehidupan di Paris. Mulai dari makanan, mode, leisure activities dan tak ketinggalan pertikaian dalam kehidupan sehari – hari.

Terlepas dari genre serial ini yang memang komedi – romantis, Emily in Paris sebenarnya menyuguhkan sesuatu yang lebih dari sekedar tontonan ringan. Seperti yang tergambar dengan jelas di musim pertama dan kedua, serial ini pada umumnya berlandaskan pada perbedaan budaya Amerika dan Prancis. Tentunya kebudayaan Prancis lebih banyak disorot. Jika ditilik kembali ke musim pertama, pusaran konflik terletak pada kesulitan Emily menjalani hidup di Paris, karena belum memahami budaya Prancis.

Keterasingan Emily yang tidak cakap dalam berbahasa Prancis barangkali juga dialami oleh sebagian besar penggemar serial ini. Selain Bahasa Prancis yang memang diakui sulit untuk dipelajari, Emily dan juga penonton sama tidak akrabnya dengan kebudayaan dan gaya hidup orang Prancis. Lewat kacamata Emily, sebagai seorang pendatang baru di Kota Paris, penonton juga pelan – pelan mempelajari budaya seperti apa yang membentuk orang Prancis.

Emily in Paris Sebagai sebuah produk dari budaya populer, memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi penonton mengenai kebudayaan Prancis. Meski serial ini hanyalah sebuah karya fiksi, latar tempat, konteks sosial dan juga budaya yang ditampilkan jelas menunjukkan kehidupan masyarakat Kota Paris, Prancis. Hal inilah yang kemudian menjadi motivasi penonton untuk mempercayai hal – hal berkaitan dengan kebudayaan Prancis sesuai dengan apa yang digambarkan dalam serial ini. Karena pengetahuan manusia mengenai tempat – tempat yang belum atau bahkan telah dikunjungi, sangat dipengaruhi oleh budaya populer . Hal inilah yang memperkuat peran budaya populer dalam membentuk sterotip suatu kebudayaan lain.

Dalam serial Emily in Paris, terdapat beberapa stereotip dari tentang Kota Paris dan Penduduknya. Senada dengan representasi Kota Paris dalam berbagai literatur, serial Emily in Paris juga menggambarkan kota ini sebagai tempat yang indah, romantis dan penuh gairah. Namun, suguhan Emily in Paris tidak berhenti pada poin ini.

Terdapat beberapa penggambaran stereotip yang terkesan mempromosikan citra buruk Prancis. Misalnya, orang – orang Prancis digambarkan tidak sopan, suka memakai topi baret dan gemar berselingkuh. Selain itu, lewat karakter Sylvie, bos Emily, orang Prancis juga digambarkan dengan imej judel dan menyebalkan. Sylvie dan para subordinatnya juga menampilkan potret pekerja kreatif Prancis yang ternyata memiliki pemikiran kuno. Jam kerja yang diberlakukan dalam setting film juga memberikan kesan bahwa orang Prancis adalah tipe pemalas dalam bekerja.

Banyak studi menyebutkan bahwa stereotip yang ditampilkan oleh media khususnya film tidak selalu benar. Media menyuguhi penontonnya dengan representasi yang tidak akurat. Walaupun belum terdapat literatur yang mengatakan bahwa serial Emily in Paris telah membentuk kepercayaan masyarakat dunia, khususnya penggemar Emily in Paris terhadap stereotip orang Prancis, potensi akan terbangunnya kesalahpahaman ini sangat terbuka lebar. Penggambaran dan stereotip yang disajikan dalam serial ini sedikit – banyak mempengaruhi konstruksi persepsi penonton terhadap Prancis dan juga orang – orangnya. Dengan kekuatan yang dimiliki oleh produk budaya populer untuk mempersuasi konsumennya, tentu hal ini dapat menimbulkan pemahaman yang tidak sepenuhnya benar terhadap budaya dan orang – orang Prancis. Sebab, stereotip adalah sebuah bentuk representasi dan kategorisasi yang tidak akurat, dan sarat akan nilai – nilai yang mencerminkan keyakinan mutlak atas generalisasi karakteristik yang berlebihan terhadap suatu kelompok sosial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *