Anggota Komisi I DPR RI Abraham Sridjaja Dorong Pengkajian Legalisasi Kasino di Indonesia

oleh
oleh
Abraham Sridjaja ( Istimewa)

JAKARTA – Anggota Komisi I DPR RI, Abraham Sridjaja mendorong pengkajian legalisasi kasino di Indonesia. Meski demikian, Ia menegaskan legalisasi kasino ini dikelola dengan regulasi yang ketat, terbatas untuk wisatawan asing (WNA), dan berbasis pada pengembangan pariwisata strategis berkelas dunia.

“Selama dikelola dengan regulasi yang ketat, berbasis pariwisata, dan tidak bersifat terbuka luas, opsi ini layak dipertimbangkan secara objektif,” ujar Abraham, Selasa (13/5/2025).

Abrahman menyampaikan bahwa fokus kebijakan ini bukan untuk memfasilitasi perjudian bebas, melainkan sebagai langkah realistis untuk mengurangi capital outflow, menarik wisatawan asing, dan meningkatkan penerimaan negara.

Abraham menyoroti bahwa beberapa negara Muslim justru sudah lebih progresif dan strategis dalam merespons isu ini.

“Malaysia, negara Muslim, telah lama memiliki kasino internasional di Genting Highlands. Namun pemerintah mereka melarang warga negaranya masuk, khususnya umat Muslim, dan hanya mengizinkan wisatawan asing. Uni Emirat Arab, negara Muslim lainnya, bahkan kini tengah membangun kawasan kasino eksklusif kelas dunia, sepenuhnya tertutup untuk warga lokal dan hanya dapat diakses oleh turis asing, dengan sistem pengawasan ketat,” ungkap Abraham.

Tak hanya itu, Abraham juga menyinggung Singapura yang mengenakan tarif masuk tinggi bagi warga lokal, dan Thailand yang baru-baru ini menyatakan kesiapannya membuka kasino legal guna meningkatkan pariwisata dan penerimaan fiskal, dengan batasan ketat bagi warga lokal.

“Legal tapi terkendali. Terbuka tapi terbatas. Kasino boleh untuk WNA, tapi haram untuk WNI. Ini bukan soal perjudian, ini soal kebijakan fiskal strategis,” tegas Abraham dalam pernyataan resminya.

Baca juga: Anggota Baleg DPR RI Abraham Sridjaja Dorong Revisi UU Advokat Segera Dibahas

Menurutnya, Indonesia harus realistis dalam menghadapi potensi kebocoran devisa akibat praktik perjudian WNI di luar negeri.

 “Setiap tahun, triliunan rupiah mengalir keluar dari Indonesia ke Genting, Marina Bay, Makau, dan destinasi sejenis. Negara tidak mendapat manfaat apa pun. Ini kerugian diam-diam yang kita biarkan terlalu lama,” ujarnya.

Ia juga menggarisbawahi bahwa legalisasi kasino tidak identik dengan liberalisasi perjudian. Ia justru mendorong sistem yang sangat ketat dan tersegmentasi, mengambil contoh dari negara-negara yang bahkan memiliki basis nilai keagamaan konservatif.

“Semua negara ini memisahkan antara fungsi ekonomi dan proteksi moral sosial. Mereka sadar bahwa perjudian bisa diatur secara disiplin untuk menjadi sumber devisa, bukan ancaman moral jika dikelola dengan benar,” tambahnya.

Menurut Abraham, Indonesia justru kehilangan devisa besar karena warga negara Indonesia selama ini berpergian ke luar negeri untuk berjudi, tanpa kontribusi apa pun terhadap ekonomi nasional.

“Ini soal keberanian melihat realitas. Jika kita bisa menciptakan zona pariwisata tertutup khusus untuk WNA, dengan sistem verifikasi, kamera pengawasan, dan larangan mutlak bagi WNI, maka kita bisa meraih manfaat fiskal tanpa mengorbankan nilai-nilai sosial bangsa,” tegasnya.

Ia juga menekankan bahwa legalisasi ini harus disertai dengan Zona terbatas di kawasan pariwisata internasional (seperti Bali, Bintan, atau KEK tertentu), larangan total untuk WNI masuk ke area kasino, sistem pengawasan berlapis (digital, fisik, dan yuridis), reinvestasi langsung pendapatan kasino ke sektor pendidikan, kesehatan, dan sosial

“Legal tapi terbatas. Terbuka tapi terkendali. Kita bukan bicara perjudian massal, tapi kebijakan makroekonomi strategis,” pungkas Abraham.

Sebelumnya ramai diberitakan media, Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Golkar Galih Kartasasmita membuka wacana legalisasi kasino di Indonesia.

Itu dimaksudkan sebagai sumber baru penerimaan negara bukan pajak (PNBP) atau devisa negara.

Dia mencontohkan Uni Emirat Arab (UAE) yang membangun kasino di sebuah daerah ekonomi khusus tidak tergabung dengan penduduk lokal. (rs)